Kalau besok mati, anda bawa apa ? Sebuah renungan
Mati bukanlah berita, Manusia dan semua yang memiliki jiwa pasti akan bertemu dengan titik akhir kehidupan ini : Mati. Dan kita semua sepakat untuk siap dijemput entah esok, lusa, atau kapanpun dalam keranda kematian. Mati sendiri adalah kehidupan. Siapa yang telah pernah mengalami tahap-tahap kehidupan, akan pula berjumpa pada tahap kematian, "Siapa yang menginginkan hidup" hendaknya menggelar dalam dirinya kavling Al-Maut. Tapi tentu saja kita tidak diperbolehkan mengharapkan mati selain mati syahid karena bila demikian halnya berarti kita telah melupakan satu kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan, yakni nikmat kehidupan.
Masa usang berlaku di dunia ini. Demikian juga batas akhir adalah bentuk lain dari kasih sayang Tuhan untuk hamba-hamba-Nya. Semua adalah endingnya, ada rampungnya. Yang semula cepat putarannya, perlahan melemah, tambah lemah dan berhenti. Semula muda, tua kemudian uzur. Yang rendah meninggi, tambah tinggi, memuncak, kemudian turun dan datar. Itulah kehidupan. Kita tidak diciptakan bagai anak panah yang lupa busurnya, terus melejit dan melesat, lepas bebas tanpa kendali yang akhirnya hilang tanpa pertanggung jawaban.
Diciptakannya sakit, kejenuhan, ketegangan, kesedihan, kebahagiaan adalah sebagai fase-fase kehidupan. Bahwa hidup ini adalah kelelahan-kelelahan. Sakit adalah masa istirahat dari sehat. Sehat adalah interval waktu untuk memahami betapa mahalnya harga kehati-hatian. Demikian juga kesedihan obatnya adalah kebahagiaan. Ketegangan disusul keceriaan dan seterusnya. Kita tidak ingin sehat terus atau bahagia terus. Terjebaknya Fir'aun pada kepemimpinanya yang zalim adalah karena rasa sakit yang tidak pernah menimpa dirinya seumur hidupnya. Ia lupa mati atau melupakan kematian. Bahkan hidup mati rakyat menjadi wewenang ditangannya. Nyawa masyarakat ada di genggamannya.
Sakit terus dapat menggiring pada sikap putus asa, putus harapan. Sementara bahagia yang tidak berkesudahan juga bisa mengantar kepada lupa diri, lupa asal muasal, yang berujung pada ketakaburan.
Disini kita dapat menyadari bahwa sedikitpun kita tidak punya daya dan kekuatan tanpa rekomendasi dari Allah. Kita menjalani hidup ini dengan kepasrahan-kepasrahan. Menyangkut kematian, kita bahkan telah sepakat untuk dijemput kapan saja. Namun kesibukan yang hampir tak berujung dan itu mewarnai hari-hari kita, telah menciptakan tabir yang begitu tebal dan jauh. Kita menjadi lupa hingga akhirnya, kata "mati" terasa begitu aneh. Ketersentakan baru muncul setelah hilang kerabat terdekat, orang yang paling dicintai atau teman yang paling akrab dalam hidup.
Setiap hari ada kematian, dan setiap hari ada berita tentangnya. Juga bincang-bincang mengenainya. Tapi lalu lintas berita dunia tidak kalah bisingnya. Bahkan, itu menjadi topik utama. Setiap hari ada kesibukkan, keramaian dan pertentangan. Setiap saat ada kemajuan dan perubahan warna-warna, karier, reputasi. Ada yang menanjak dan ada yang ambruk dan ada yang stress karenanya. Semuanya itu menjadi hijab-hijab tebal untuk mema'rifati kematian.
Padahal antrean panjang kematian mungkin tinggal besok saja lagi datangnya. Apakah kita sudah siap menyambut pisahnya ruh dan jasad? Wallahu a'lam